Sumber: http://harmoni-my.org
Dicatat Oleh: Bicara
Marhaen | 01:15:13
| 19042012
Nabi Nuh a.s adalah nabi keempat sesudah
Adam, Syith dan Idris dan keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Ayahnya adalah
Lamik bin Metusyalih bin Idris.
Berlalulah beberapa tahun dari kematian Nabi
Adam. Bunga-bunga berguguran di sekitar kuburannya dan pohon-pohon dan
batu-batuan tampak tidak bergairah. Banyak hal berubah di muka bumi. Dan sesuai
dengan hukum umum, terjadilah kealpaan terhadap wasiat Nabi Adam. Kesalahan
yang dahulu kembali terulang. Kesalahan dalam bentuk kelupaan, meskipun kali
ini terulang secara berbeza.
Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh, telah hidup
lima orang saleh dari datuk-datuk kaum Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa
zaman kemudian mereka mati. Nama-nama mereka adalah Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq
dan Nasr. Setelah kematian mereka, orang-orang membuat patung-patung dari
mereka, dalam rangka menghormati mereka dan sebagai peringatan terhadap mereka.
Kemudian berlalulah waktu, lalu orang-orang yang memahat patung itu mati. Lalu
datanglah anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu mati, dan datanglah cucu-
cucu mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan khurafat yang membelenggu
akal manusia di mana disebutkan bahawa patung-patung itu memiliki kekuatan
khusus.
Di sinilah iblis memanfaatkan kesempatan, dan
ia membisikkan kepada manusia bahawa berhala-berhala tersebut adalah Tuhan yang
dapat mendatangkan manfaat dan menolak
bahaya sehingga akhirnya manusia
menyembah berhala-berhala itu. Kami tidak mengetahui sumber yang terpecaya
berkenaan dengan bagaimana bentuk kehidupan ketika penyembahan terhadap berhala
dimulai di bumi, namun kami mengetahui hukum umum yang tidak pernah berubah
ketika manusia mulai cenderung kepada syirik. Dalam situasi seperti itu,
kejahatan akan memenuhi bumi dan akal manusia akan kalah, serta akan
meningkatnya kelaliman dan banyaknya orang-orang yang teraniaya. Yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Alhasil, kehidupan manusia
semuanya akan berubah menjadi neraka Jahim. Situasi demikian ini pasti terjadi
ketika manusia menyembah selain Allah SWT, baik yang disembah itu berhala dari
batu, anak sapi dari emas, penguasa dari manusia, sistem dari berbagai sistem,
mazhab dari berbagai mazhab, atau kuburan seorang wali. Sebab satu-satunya yang
menjamin persamaan di antara manusia adalah, saat mereka hanya menyembah Allah
SWT dan saat Dia diakui sebagai Pencipta mereka dan yang membuat undang-undang
bagi mereka. Tetapi saat jaminan ini hilang lalu ada seorang yang mengklaim,
atau ada sistem yang mengklaim memiliki wewenang ketuhanan maka manusia akan
binasa dan akan hilanglah kebebasan mereka sepenuhnya.
Penyembahan kepada selain Allah SWT bukan
hanya sebagai sebuah tragedi yang dapat menghilangkan kebebasan, namun pengaruh
buruknya dapat merembet ke akal manusia dan dapat mengotorinya. Sebab, Allah
SWT menciptakan manusia agar dapat mengenal-Nya dan menjadikan akalnya sebagai
permata yang bertujuan untuk memperoleh ilmu. Dan ilmu yang paling penting adalah
kesadaran bahawa Allah SWT semata sebagai Pencipta, dan selain-Nya adalah
makhluk. Ini adalah poin penting dan dasar pertama yang harus ada sehingga
manusia sukses sebagai khalifah di muka bumi.
Ketika akal manusia kehilangan potensinya dan
berpaling ke selain Allah SWT maka manusia akan tertimpa kesalahan. Terkadang
seseorang mengalami kemajuan secara materi kerana ia berhasil melalui
jalan-jalan kemajuan, meskipun ia tidak beriman kepada Allah SWT, namun
kemajuan materi ini yang tidak disertai dengan pengenalan kepada Allah SWT akan
menjadi siksa yang lebih keras daripada siksaan apa pun, kerana ia pada
akhirnya akan menghancurkan manusia itu sendiri. Ketika manusia menyembah
selain Allah SWT maka akan meningkatlah penderitaan kehidupan dan kefakiran
manusia. Terdapat hubungan kuat antara kehinaan manusia dan kefakiran mereka,
serta tidak berimannya mereka kepada Allah. Allah SWT berfirman:
"Seandainya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi. " (QS. al-A'raf: 96)
Demikianlah, bahawa kufur kepada Allah SWT
atau syirik kepada-Nya akan menyebabkan hilangnya kebebasan dan hancurnya akal
serta meningkatnya kefakiran, serta kosongnya kehidupan dari tujuan yang mulia.
Dalam situasi seperti ini, Allah SWT mengutus Nuh untuk membawa ajaran-Nya
kepada kaumnya. Nabi Nuh adalah seorang hamba yang akalnya tidak terpengaruh
oleh polusi kolektif, yang menyembah selain Allah SWT. Allah SWT memilih
hamba-Nya Nuh dan mengutusnya di tengah-tengah kaumnya.
Nuh membuat revolusi pemikiran. Ia berada di
puncak kemuliaan dan kecerdasan. Ia merupakan manusia terbesar di zamannya. Ia
bukan seorang raja di tengah-tengah kaumnya, bukan penguasa mereka, dan bukan
juga orang yang paling kaya di antara mereka. Kita mengetahui bahawa kebesaran
tidak selalu berhubungan dengan kerajaan, kekayaan, dan kekuasaan. Tiga hal
tersebut biasanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang hina. Namun kebesaran terletak
pada kebersihan hati, kesucian nurani, dan kemampuan akal untuk mengubah
kehidupan di sekitarnya. Nabi Nuh memiliki semua itu, bahkan lebih dari itu.
Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan
Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Dia menciptakan mereka di alam atom.
Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah SWT sebelum pengutusannya pada
manusia. Dan semua nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka diutus. Di
antara mereka ada yang "mencari" Allah SWT seperti Nabi Ibrahim, ada
juga di antara mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling
dalam, seperti Nabi Musa, dan di antara mereka juga ada yang beribadah
kepada-Nya dan menyendiri di gua Hira, seperti Nabi Muhammad saw.
Terdapat sebab lain berkenaan dengan
kebesaran Nabi Nuh. Ketika ia bangun, tidur, makan, minum, atau mengenakan
pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah SWT dan
memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya. Oleh
kerana itu, Allah SWT berkata tentang Nuh:
"Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah)
yang banyak bersyukur." (QS. al-Isra': 3)
Allah SWT memilih hamba-Nya yang bersyukur
dan mengutusnya sebagai nabi pada kaumnya. Nabi Nuh keluar menuju kaumnya dan
memulai dakwahnya:
"Wahai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak
menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar. " (QS.
al-A'raf: 59)
Dengan kalimat yang singkat tersebut, Nabi
Nuh meletakkan hakikat ketuhanan kepada kaumnya dan hakikat hari kebangkitan.
Di sana hanya ada satu Pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat
kematian, kemudian kebangkitan kemudian hari kiamat. Hari yang besar yang di
dalamnya terdapat siksaan yang besar.
Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya bahawa
mustahil terdapat selain Allah Yang Maha Esa sebagai Pencipta. Ia memberikan
pengertian kepada mereka, bahawa setan telah lama menipu mereka dan telah tiba
waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nuh menyampaikan kepada mereka, bahawa
Allah SWT telah memuliakan manusia: Dia telah menciptakan mereka, memberi
mereka rezeki, dan menganugerahi akal kepada mereka. Manusia mendengarkan
dakwahnya dengan penuh kekhusukan. Dakwah Nabi Nuh cukup mengguncangkan jiwa
mereka. Laksana tembok yang akan roboh yang saat itu di situ ada seorang yang
tertidur dan engkau meng-goyang tubuhnya agar ia bangun. Barangkali ia akan
takut dan ia marah meskipun engkau bertujuan untuk menyelamatkannya.
Akar-akar kejahatan yang ada di bumi
mendengar dan merasakan ketakutan. Pilar-pilar kebencian terancam dengan cinta
ini yang dibawa oleh Nabi Nuh. Setelah mendengar dakwah Nabi Nuh, kaumnya
terpecah menjadi dua kelompok: Kelompok orang-orang lemah, orang-orang fakir,
dan orang-orang yang menderita, di mana mereka merasa dilindungi dengan dakwah
Nabi Nuh, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok orang-orang kaya,
orang-orang kuat, dan para penguasa di mana mereka menghadapi dakwah Nabi Nuh
dengan penuh keraguan. Bahkan ketika mereka mempunyai kesempatan, mereka mulai
melancarkan serangan untuk melawan Nabi Nuh. Mula-mula mereka menuduh bahawa
Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka:
"Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang
kafir dari kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang
manusia (biasa) seperti kami.'" (QS. Hud: 27)
Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan:
"Masyarakat yang menentang dakwahnya adalah para pembesar dari kaumnya.
Mereka dikatakan al- Mala' kerana mereka seringkali berkata. Misalnya mereka
berkata kepada Nabi Nuh: "Wahai Nuh, engkau adalah manusia biasa."
Padahal Nabi Nuh juga mengatakan bahawa ia memang manusia biasa. Allah SWT
mengutus seorang rasul dari manusia ke bumi kerana bumi dihuni oleh manusia.
Seandainya bumi dihuni oleh para malaikat nescaya Allah SWT mengutus seorang
rasul dari malaikat.
Berlanjutlah peperangan antara orang-orang
kafir dan Nabi Nuh. Mula- mula, rezim penguasa menganggap bahawa dakwah Nabi
Nuh akan mati dengan sendirinya, namun ketika mereka melihat bahawa dakwahnya
menarik perhatian orang-orang fakir, orang-orang lemah, dan pekerja- pekerja
sederhana, mereka mulai menyerang Nabi Nuh dari sisi ini. Mereka menyerangnya
melalui pengikutnya dan mereka berkata kepadanya: "Tiada yang mengikutimu
selain orang-orang fakir dan orang- orang lemah serta orang-orang hina."
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): 'Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan
yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku
khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka
berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu,
melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak
melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di
antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki
sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahawa kamu adalah
orang-orang yang berdusta. " (QS. Hud: 25-27)
Demikianlah telah berkecamuk pertarungan
antara Nabi Nuh dan para bangsawan dari kaumnya. Orang-orang yang kafir itu
menggunakan dalih persamaan dan mereka berkata kepada Nabi Nuh: "Dengarkan
wahai Nuh, jika engkau ingin kami beriman kepadamu maka usirlah orang-orang
yang beriman kepadamu. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lemah dan
orang-orang yang fakir, sementara kami adalah kaum bangsawan dan orang-orang
kaya di antara mereka. Dan mustahil engkau menggabungkan kami bersama mereka
dalam satu dakwah (majelis)." Nabi Nuh mendengarkan apa yang dikatakan
oleh orang-orang kafir dari kaumnya. la mengetahui bahawa mereka menentang.
Meskipun demikian, ia menjawabnya dengan baik. Ia memberitahukan kepada kaumnya
bahawa ia tidak dapat mengusir orang-orang mukmin, kerana mereka bukanlah
tamu-tamunya namun mereka adalah tamu-tamu Allah SWT. Rahmat bukan terletak
dalam rumahnya di mana masuk di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya dan
terusir darinya orang-orang yang dikehendakinya, tetapi rahmat terletak dalam
rumah Allah SWT di mana Dia menerima siapa saja yang dikehendaki-Nya di
dalamnya. Allah SWT berfirman:
"Berkata Nuh: 'Hai kaumku, bagaimana
pikiranmu, jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat
dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah
kamu menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): 'Hai
kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku.
Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang
yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan
tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.' Dan (dia berkata):
'Hai kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir
mereka. Maka tidakkan kamu mengambil pelajaran?' Dan aku tidak mengatakan
kepada kamu (bahawa): 'Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari
Allah, dan aku tidak mengetahui hal yang ghaib, dan tidak pula aku mengatakan:
'Sesungguhnya aku adalah malaikat,' dan tidak juga aku mengatakan kepada
orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: 'Sekali-kali Allah tidak
akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada
pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang
yang lalim.'" (QS. Hud: 28-31)
Nuh mematahkan semua argumentasi orang-orang
kafir dengan logik para nabi yang mulia. Yaitu, logik pemikiran yang sunyi dari
kesombongan peribadi dan kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh berkata
kepada mereka bahawa Allah SWT telah memberinya agama, kenabian, dan rahmat.
Sedangkan mereka tidak melihat apa yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Selanjutnya, ia tidak memaksakan mereka untuk mempercayai apa yang disampaikannya
saat mereka membenci. Kalimat tauhid (tiada Tuhan selain Allah) tidak dapat
dipaksakan atas seseorang. Ia memberitahukan kepada mereka bahawa ia tidak
meminta imbalan dari mereka atas dakwahnya. Ia tidak meminta harta dari mereka
sehingga memberatkan mereka. Sesungguhnya ia hanya mengharapkan pahala
(imbalan) dari Allah SWT. Allahlah yang memberi pahala kepadanya. Nabi Nuh
menerangkan kepada mereka bahawa ia tidak dapat mengusir orang-orang yang
beriman kepada Allah SWT. Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki keterbatasan dan
keterbatasan itu adalah tidak diberikannya hak baginya untuk mengusir
orang-orang yang beriman kerana dua alasan. bahawa mereka akan bertemu dengan
Alllah SWT dalam keadaan beriman kepada-Nya, maka bagaimana ia akan mengusir
orang yang beriman kepada Allah SWT, kemudian seandainya ia mengusir mereka,
maka mereka akan menentangnya di hadapan Allah SWT. Ini berakibat pada
pemberian pahala dari Allah SWT atas keimanan mereka dan balasan-Nya atas siapa
pun yang mengusir mereka. Maka siapakah yang dapat menolong Nabi Nuh dari siksa
Allah SWT seandainya ia mengusir mereka?
Demikianlah Nabi Nuh menunjukkan bahawa
permintaan kaumnya agar ia mengusir orang-orang mukmin adalah tindakan bodoh
dari mereka. Nabi Nuh kembali menyatakan bahawa ia tidak dapat melakukan
sesuatu yang di luar wewenangnya, dan ia memberitahu mereka akan kerendahannya
dan kepatuhannya kepada Allah SWT. Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang
merupakan bahagian dari kekuasaan Allah SWT, yaitu pemberian nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya
yang dikehendaki-Nya. Ia tidak mengetahui ilmu ghaib, kerana ilmu ghaib hanya
khusus dimiliki oleh Allah SWT. Ia juga memberitahukan kepada mereka bahawa ia
bukan seorang raja, yakni kedudukannya bukan seperti kedudukan para malaikat.
Sebahagian ulama berargumentasi dari ayat ini bahawa para malaikat lebih utama
dari pada para nabi (silakan melihat tafsir Qurthubi).
Nabi Nuh berkata kepada mereka:
"Sesungguhnya orang-orang yang kalian pandang sebelah mata, dan kalian
hina dari orang-orang mukmin yang kalian remehkan itu, sesungguhnya pahala
mereka itu tidak sirna dan tidak berkurang dengan adanya penghinaan kalian
terhadap mereka. Sungguh Allah SWT lebih tahu terhadap apa yang ada dalam diri
mereka. Dialah yang membalas amal mereka. Sungguh aku telah menganiaya diriku
sendiri seandainya aku mengatakan bahawa Allah tidak memberikan kebaikan kepada
mereka."
Kemudian rezim penguasa mulai bosan dengan
debat ini yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Allah SWT menceritakan sikap mereka
terhadap Nabi Nuh dalam flrman-Nya:
"Mereka berkata: 'Hai Nuh, sesungguhnya
kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu
terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada
kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.' Nuh menjawab: 'Hanyalah Allah
yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu
sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. Dan tidaklah bermanfaat kepadamu
nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Allah hendak
menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
" (QS. Hud: 32-34)
Nabi Nuh menambahkan bahawa mereka tersesat
dari jalan Allah SWT. Allahlah yang menjadi sebab terjadinya segala sesuatu,
namun mereka memperoleh kesesatan disebabkan oleh ikhtiar mereka dan kebebasan
mereka serta keinginan mereka. Dahulu iblis berkata:
"Kerana Engkau telah menghukum saya
tersesat..." (QS. al-A'raf: 16)
Secara zahir tampak bahawa makna ungkapan itu
berarti Allahlah yang menyesatkannya, padahal hakikatnya adalah bahawa Allah
SWT telah memberinya kebebasan dan kemudian Dia akan meminta
pertanggungjawapannya. Kita tidak sependapat dengan pandangan al- Qadhariyah,
al-Mu'tazilah, dan Imamiyah. Mereka berpendapat bahawa keinginan manusia cukup
sebagai kekuatan untuk melakukan perbuatannya, baik berupa ketaatan maupun
kemaksiatan. kerana bagi mereka, manusia adalah pencipta perbuatannya. Dalam
hal itu, ia tidak membutuhkan Tuhannya. Kami tidak mengambil pendapat mereka
secara mutlak. Kami berpendapat bahawa manusia memang menciptakan perbuatannya
namun ia membutuhkan bantuan Tuhannya dalam melakukannya.
Alhasil, Allah SWT mengerahkan setiap makhluk
sesuai dengan arah penciptaannya, baik pengarahann itu menuju kebaikan atau
keburukan. Ini termasuk kebebasan sepenuhnya. Manusia memilih dengan
kebebasannya kemudian Allah SWT mengerahkan jalan menuju pilihannya itu. Iblis
memilih jalan kesesatan maka Allah SWT mengarahkan jalan kesesatan itu padanya,
sedangkan orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh memilih jalan yang sama maka
Allah pun mengarahkan jalan itu pada mereka.
Peperangan pun berlanjut, dan perdebatan
antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh semakin melebar, sehingga ketika
argumentasi-argumentasi mereka terpatahkan dan mereka tidak dapat mengatakan
sesuatu yang pantas, mereka mulai keluar dari batas-batas adab dan berani
mengejek Nabi Allah.
"Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata:
'Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata." (QS.
al-A'raf: 60)
Nabi Nuh menjawab dengan menggunakan
sopan-santun para nabi yang agung.
"Nuh menjawab: 'Hai kaumku, tak ada
padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam.
Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu,
dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-A'raf:
61-62)
Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwah di
tengah-tengah kaumnya, waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun.
Berlalulah masa yang panjang itu, namun Nabi Nuh tetap mengajak kaumnya. Nabi
Nuh berdakwah kepada mereka siang malam, dengan sembunyi-sembunyi dan
terang-terangan, bahkan ia pun memberikan contoh-contoh pada mereka. Ia
menjelaskan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan kekuasaan-Nya di
dunia. Namun setiap kali ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, mereka
lari darinya, dan setiap kali ia mengajak mereka agar Allah SWT mengampuni
mereka, mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga-telinga mereka dan mereka
menampakkan kesombongan di depan kebenaran. Allah SWT menceritakan apa yang
dialami oleh Nabi Nuh dalam firman-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah
mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka
agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam
telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari)
dan menyombongkan diri dengan keterlaluan. Kemudian sesungguhnya aku telah
menyeru mereka dengan cara yang terang-terangan, kemudian aku menyeru mereka
lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku katakan kepada
mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.
Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan
anak- anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai.'" (QS. Nuh: 5-12)
Namun apa jawapan kaumnya?
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya
mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan
anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka telah
melakukan tipu-daya yang amat besar. Dan mereka berkata: 'Janganlah sekali-kali
kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali
meninggalkan (penyembahan) wadd, suwa, yaghuts, yauq, dan nasr. Dan sesudahnya
mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan
bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,'" (QS. Nuh: 21-24)
Nuh tetap melanjutkan dakwah di
tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun. Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima
puluh tahun. " (QS. Ankabut: 14)
Sayangnya, jumlah kaum mukmin tidak bertambah
sedangkan jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh sangat sedih namun ia
tidak sampai kehilangan harapan. la senantiasa mengajak kaumnya dan berdebat
dengan mereka. Namun kaumnya selalu menghadapinya dengan kesombongan,
kekufuran, dan penentangan. Nabi Nuh sangat bersedih terhadap kaumnya namun ia
tidak sampai berputus asa. la tetap menjaga harapan selama 950 tahun. Tampak
bahawa usia manusia sebelum datangnya taufan cukup panjang. Dan barangkali usia
panjang bagi Nabi Nuh merupakan mukjizat khusus baginya.
Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan
kepada Nabi Nuh bahawa orang-orang yang beriman dari kaumnya tidak akan
bertambah lagi. Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas
tindakan mereka. Maka pada saat itu, Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir
dihancurkan. la berkata:
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan
seorang pun di antara orang- orang kafir itu tinggal di atas bumi." (QS.
Nuh: 26)
Nabi Nuh membenarkan doanya dengan alasan:
"Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka
tinggal, nescaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan
melahirkan selain anak yang berbuat maksiat dan kafir. " (QS. Nuh: 27)
Allah SWT berfirman dalam surah Hud:
"Dan diwahyukan kepada Nuh, bahawasannya
sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang-orang yang telah
beriman saja, kerana itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu
mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu
Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim
itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)
Kemudian Allah SWT menetapkan hukum-Nya atas
orang-orang kafir, yaitu datangnya angin taufan. Allah SWT memberitahu Nuh,
bahawa ia akan membuat perahu ini dengan "pengawasan Kami dan wahyu
kami," yakni dengan ilmu Allah SWT dan pengajaran-Nya, serta sesuai dengan
pengarahan-Nya dan bantuan para malaikat.
Allah SWT menetapkan perintah-Nya kepada Nuh:
"Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku
tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan
ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)
Allah SWT menenggelamkan orang-orang yang
lalim, apa pun kedudukan mereka dan apa pun kedekatan mereka dengan Nabi. Allah
SWT melarang Nabi-Nya untuk berdialog dengan mereka atau menengahi urusan
mereka. Nabi Nuh mulai menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu
beberapa tahun, kemudian ia memotong apa yang ditanamnya dan mulai merakitnya.
Akhirnya, jadilah perahu yang besar, yang tinggi, dan kuat.
Para mufasir berbeza pendapat tentang
besarnya perahu itu, bentuknya, masa pembuatannya, tempat pembuatannya dan
lain-lain. Berkenaan dengan hal tersebut Fakhrur Razi berkata: "Ketahuilah
bahawa pembahasan ini tidak menarik bagiku kerana ia merupakan hal-hal yang
tidak perlu diketahuinya. Saya kira mengetahui hal tersebut hanya mendatangkan
manfaat yang sedikit." Mudah-mudahan Allah SWT merahmati Fakhrur Razi yang
menyatakan kebenaran dengan kalimatnya itu. Kita tidak mengetahui hakikat
perahu ini, kecuali apa yang telah Allah SWT ceritakan kepada kita tentang hal
itu. Misalnya, kita tidak mengetahui dimana ia dibuat, berapa panjangnya atau
lebarnya, dan kita secara pasti tidak mengetahui selain tempat yang ditujunya
setelah ia berlabuh.
Allah SWT tidak memberikan keterangan secara
detail berkenaan dengan hal tersebut yang tidak memberikan kepentingan pada
kandungan cerita dan tujuannya yang penting. Nabi Nuh mulai membangun perahu,
lalu orang-orang kafir lewat di depannya saat ia dalam keadaan serius membuat
perahu. Saat itu, cuaca atau udara sangat kering, dan di sana tidak terdapat
sungai atau laut yang dekat. Bagaimana perahu ini akan berlayar wahai Nuh?
Apakah ia akan berlayar di atas tanah? Di manakah air yang memungkinkan bagi
perahumu untuk belayar? Sungguh Nuh telah gila! Orang-orang kafir semakin
tertawa terbahak-bahak dan semakin mengejek Nabi Nuh.
Puncak pertentangan dalam kisah Nabi Nuh
tampak dalam masa ini. Kebatilan mengejek kebenaran dan cukup lama menertawakan
kebenaran. Mereka menganggap bahawa dunia adalah milik mereka dan bahawa mereka
akan selalu mendapatkan keamanan dan bahawa siksa tidak akan terjadi. Namun
anggapan mereka itu tidak terbukti. Datangnya angin taufan menjungkirbalikkan
semua perkiraan mereka. Saat itu, orang-orang mukmin mengejek balik orang-orang
kafir dan ejekan mereka adalah kebenaran. Allah SWT berfirman:
"Dan mulailah Nuh membuat bahtera itu.
Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan metewati Nuh, mereka mengejeknya.
Berkatalah Nuh: 'Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan
mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui
siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab
yang kekal." (QS. Hud: 38- 39)
Selesailah pembuatan perahu dan duduk
menunggu perintah Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahawa jika
ada yang mempunyai dapur, maka ini sebagai tanda dimulainya angin taufan. Di
sebutkan bahawa tafsiran dari at-Tannur ialah oven (alat untuk memanggang roti)
yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari maka itu
merupakan perintah bagi Nabi Nuh untuk bergerak. Maka pada suatu hari tannur
itu mulai menunjukkan tanda- tandanya dari dalam rumah Nabi Nuh, lalu Nabi Nuh
segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang mukmin untuk menaikinya.
Jibril turun ke bumi. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang
berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut, dan lain-lain. Dalam perahu itu, Nabi
Nuh telah membuat kandang binatang buas.
Jibril menggiring setiap dua binatang yang
berpasangan agar setiap spesies binatang tidak punah dari muka bumi. Ini
berarti bahawa angin taufan telah menenggelamkan bumi semuanya, kalau tidak
demikian maka buat apa ia harus mengangkut jenis binatang-binatang itu.
Binatang-binatang mulai menaiki perahu itu beserta orang-orang yang beriman dari
kaumnya. Jumlah orang-orang mukmin sangat sedikit. Allah SWT berfirman:
"Hingga apabila perintah Kami datang dan
tannur telah memancarkan air, Kami berfirman: 'Muatkanlah ke dalam bahtera itu
dari masing- masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu
kecuali orang yang terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkanlah pula)
orang-orang yang beriman.' Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit.
" (QS. Hud: 40)
Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya
sehingga ia tidak ikut menaiki perahu, dan salah satu anaknya menyembunyikan
kekafirannya dengan menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh, dan ia pun tidak
ikut menaikinya. Mayoritas manusia saat itu tidak beriman sehingga mereka tidak
turut berlayar. Hanya orang-orang mukmin yang mengarungi lautan bersamanya.
Ibnu Abbas berkata: "Terdapat delapan puluh orang dari kaum Nabi Nuh yang
beriman kepadanya."
Air mulai meninggi yang keluar dari
celah-celah bumi. Tiada satu celah pun di bumi kecuali keluar air darinya.
Sementara dari langit turunlah hujan yang sangat deras yang belum pernah turun
hujan dengan curah seperti itu di bumi, dan tidak akan ada hujan seperti itu
sesudahnya. Lautan semakin bergolak dan ombaknya menerpa apa saja dan menyapu
bumi. Perut bumi bergerak dengan gerakan yang tidak wajar sehingga bola bumi
untuk pertama kalinya tenggelam dalam air sehingga ia menjadi bola air. Allah
SWT berfirman:
"Maka Kami bukakan pintu-pintu langit
dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata
air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah
ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan
paku. (QS. al-Qamar: 11-13)
Air meninggi di atas kepala manusia, dan ia
melampaui ketinggian pohon, bahkan puncak gunung. Akhirnya, permukaan bumi
diselimuti dengan air. Ketika mula-mula datang taufan, Nabi Nuh
memanggil-manggil puteranya. puteranya itu berdiri agak jauh darinya. Nabi Nuh
memanggilnya dan berkata:
"Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama
kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." (QS. Hud:
42)
Anak itu menjawab ajakan ayahnya:
"Aku akan mencari perlindungan ke gunung
yang dapat memeliharaku dari air bah." (QS. Hud: 43)
Nabi Nuh kembali menyerunya:
"Tidak ada yang melindungi hari ini dari
azab Allah selain orang yang dirahmati-Nya." (QS. Hud: 43)
Selesailah dialog antara Nabi Nuh dan
anaknya.
"Dan gelombang menjadi penghalang antara
keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
" (QS. Hud: 43)
Perhatikanlah ungkapan AI-Qur'an al-Karim:
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Ombak tiba-tiba mengakhiri
dialog mereka. Nabi Nuh mencari, namun ia tidak mendapati anaknya. Ia tidak
menemukan selain gunung ombak yang semakin meninggi dan meninggi bersama perahu
itu. Nabi Nuh ddak dapat melihat segala sesuatu selain air. Allah SWT
berkehendak - sebagai rahmat dari-Nya - untuk menenggelamkan si anak jauh dari
penglihatan si ayah. Inilah kasih sayang Allah SWT terhadap si ayah. Anak Nabi
Nuh mengira bahawa gunung akan mencegahnya dari kejaran air namun ia pun
terkejar dan tenggelam. Angin taufan terus berlanjut dan terus membawa perahu
Nabi Nuh. Setelah berlalu beberapa saat, pemandangan tertuju kepada bumi yang
telah musnah sehingga tiada kehidupan kecuali sebahagian kayu yang darinya Nabi
Nuh membuat perahu di mana ia menyelamatkan orang-orang mukmin, begitu juga
berbagai binatang yang ikut bersama mereka. Adalah hal yang sulit bagi kita
untuk membayangkan kedahsyatan taufan itu. Yang jelas, ia menunjukkan kekuasaan
Pencipta. Perahu itu berlayar dengan mereka dalam ombak yang laksana gunung.
Sebahagian ilmuwan meyakini bahawa terpisahnya beberapa benua dan terbentuknya
bumi dalam rupa seperti sekarang adalah sebagai akibat dari taufan yang dahulu.
taufan yang dialami oleh Nabi Nuh terus
berlanjut dalam beberapa zaman di mana kita tidak dapat mengetahui batasnya.
Kemudian datanglah perintah Ilahi agar langit menghentikan hujannya dan agar
bumi tetap tenang dan menelan air itu, dan agar kayu-kayu perahu berlabuh di
al-Judi, yaitu nama suatu tempat di zaman dahulu. Ada yang mengatakan bahawa ia
adalah gunung yang terletak di Irak. Dengan datangnya perintah Ilahi, bumi
kembali menjadi tenang dan air menjadi surut. taufan telah menyucikan bumi dan
membasuhnya. Allah SWT berfirman:
"Dan difirmankan: 'Hai bumi telanlah
airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,' dan air pun disurutkan, perintah
pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukitjudi. Dan dikatakan:
'Binasalah orang-orang yang lalim. " (QS. Hud: 44)
Dan air pun disurutkan, yakni air berkurang
dan kembali ke celah-celah bumi. Segala urusan telah diputuskan dan orang-orang
kafir telah hancur sepenuhnya. Dikatakan bahawa Allah SWT me-mandulkan
rahim-rahim wanita selama empat puluh tahun sebelum datangnya taufan, kerana
itu tidak ada yang terbunuh seorang anak bayi atau anak kecil.
Firman-Nya: Dan bahtera itu pun
berlabuh di atas bukit judi, yakni ia berlabuh di atasnya. Di sebutkan bahawa
hari itu bertepatan dengan hari Asyura' (hari kesepuluh dari bulan Muharam). Lalu
Nabi Nuh berpuasa dan memerintahkan orang-orang yang bersamanya untuk berpuasa
juga.
Dikatakan: 'Binasalah orang-orang yang lalim,
'yakni kehancuran bagi mereka. taufan menyucikan bumi dari mereka dan
membersihkannya. Lenyaplah peristiwa yang mengerikan dengan lenyapnya taufan.
Dan berpindahlah pergulatan dari ombak ke jiwa Nabi Nuh. Ia mengingat anaknya
yang tenggelam. Nabi Nuh tidak mengetahui saat itu bahawa anaknya menjadi
kafir. Ia menganggap bahawa anaknya sebagai seorang mukmin yang memilih untuk
menyelamatkan diri dengan cara berlindung kepada gunung. Namun ombak telah
mengakhiri percakapan keduanya sebelum mereka menyelesaikannya. Nabi Nuh tidak
mengetahui seberapa jauh bahagian keimanan yang ada pada anaknya. Lalu
bergeraklah naluri kasih sayang dalam hati sang ayah. Allah SWT berfirman:
"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil
berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya
janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil- adilnya.
" (QS. Hud: 45)
Nuh ingin berkata kepada Allah SWT bahawa
anaknya termasuk dari keluarganya yang beriman dan Dia menjanjikan untuk
menyelamatkan keluarganya yang beriman. Allah SWT berkata dan menjelaskan
kepada Nuh keadaan sebenarnya yang ada pada anaknya:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah
termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya
perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu
yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku memperingatkan kepa- damu supaya
kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.'" (QS. Hud:
46)
Al-Qurthubi berkata - menukil dari
guru-gurunya dari kalangan ulama - ini adalah pendapat yang kami dukung:
"Anaknya berada di sisinya (yakni bersama Nabi Nuh dan dalam dugaannya ia
seorang mukmin). Nabi Nuh tidak berkata kepada Tuhannya: "Sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku," kecuali kerana ia memang menampakkan hal yang
demikian kepadanya. Sebab, mustahil ia meminta kehancuran orang-orang kafir
kemudian ia meminta agar sebahagian mereka diselamatkan."
Anaknya menyembunyikan kekufuran dan
menampakkan keimanan. Lalu Allah SWT memberitahukan kepada Nuh ilmu ghaib yang
khusus dimiliki- Nya. Yakni Allah SWT memberitahunya keadaan sebenarnya dari
anaknya. Allah SWT ketika menasihatinya agar jangan sampai ia menjadi
orang-orang yang tidak mengerti. Dia ingin menghilangkan darinya anggapan
bahawa anaknya beriman kemudian mati bersama orang-orang kafir.
Di sana terdapat pelajaran penting yang
terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu, yang menceritakan kisah Nabi Nuh
bersama anaknya. Allah SWT ingin berkata kepada Nabi-Nya yang mulia bahawa
anaknya bukan termasuk keluarganya kerana ia tidak beriman kepada Allah SWT.
Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia. Anak seorang nabi
adalah anaknya yang meyakini akidah, yaitu mengikuti Allah SWT dan nabi, dan bukan
anaknya yang menentangnya, meskipun berasal dari sulbinya. Jika demikian
seorang mukmin harus menghindar dari kekufuran. Dan di sini juga harus di
teguhkan hubungan sesama akidah di antara orang-orang mukmin. Adalah tidak
benar jika hubungan sesama mereka dibangun berdasarkan darah, iras, warna
kulit, atau tempat tinggal.
Nabi Nuh memohon ampun kepada Tuhannya dan
bertaubat kepada-Nya. Kemudian Allah SWT merahmatinya dan memerintahkannya
untuk turun dari perahu dalam keadaan dipenuhi dengan keberkahan dari Allah SWT
dan penjagaan-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada
mengetahui (hakikatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan
(tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, nescaya aku akan termasuk orang-orang
yang rugi. " (QS. Hud: 47)
Difirmankan: "'Hai Nuh, turunlah
dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang
beriman) dari orang-orang yang bersamamu.'" (QS. Hud: 48)
Nabi Nuh turun dari perahunya dan ia
melepaskan burung-burung dan binatang-binatang buas sehingga mereka menyebar ke
bumi. Setelah itu, orang-orang mukmin juga turun. Nabi Nuh meletakkan dahinya
ke atas tanah dan bersujud. Saat itu bumi masih basah kerana pengaruh taufan.
Nabi Nuh bangkit setelah solatnya dan menggali pondasi untuk membangun tempat
ibadah yang agung bagi Allah SWT. Orang-orang yang selamat menyalakan api dan
duduk-duduk di sekelilingnya. Menyalakan api sebelumnya di larang di dalam perahu
kerana dikhuatirkan api akan menyentuh kayu-kayunya dan membakarnya. Tak
seorang pun di antara mereka yang memakan makanan yang hangat selama masa
taufan.
Berlalulah hari puasa sebagai tanda syukur
kepada Allah SWT. Al-Qur'an tidak lagi menceritakan kisah Nabi Nuh setelah
taufan sehingga kita tidak mengetahui bagaimana peristiwa yang dialami Nabi Nuh
bersama kaumnya. Yang kita ketahui atau yang perlu kita tegaskan bahawa Nabi
Nuh mewasiatkan kepada putera-puteranya saat ia meninggal agar mereka hanya menyembah
Allah SWT.
Pengajaran Dari Kisah Nabi Nuh a.s.
Bahawasanya hubungan antara manusia yang
terjalin kerana ikatan persamaan kepercayaan atau penamaan aqidah dan pendirian
adalah lebih erat dan lebih berkesan drp hubungan yang terjalin kerana ikatan
darah atau kelahiran. Kan'aan yang walaupun ia adalah anak kandung Nabi Nuh,
oleh Allah s.w.t. dikeluarkan dari bilangan keluarga ayahnya kerana ia menganut
kepercayaan dan agama berlainan dengan apa yang dianut dan didakwahkan oleh
ayahnya sendiri, bahkan ia berada di pihak yang memusuhi dan menentangnya.
Maka dalam pengertian inilah dapat difahami
firman Allah dalam Al- Quran yang bermaksud: "Sesungguhnya para mukmin itu
adalah bersaudara."
Demikian pula hadis Rasulullah s.a.w yang
bermaksud:"Tidaklah sempurna iman seseorang kecuali jika ia menyintai
saudaranya yang beriman sebagaimana ia menyintai dirinya sendiri." Juga
peribahasa yang berbunyi:"Adakalanya engkau memperolehi seorang saudara
yang tidak dilahirkan oleh ibumu."
No comments:
Post a Comment